Senin, 09 Mei 2011

REFLEKSI LIVE IN

Ketegaran yang Kutemukan dalam Sebuah Kesederhanaan

Akhirnya hari ini tiba juga, hari dimana aku dan teman-teman kelas XI diterjunkan ke lokasi live in. Cemas, takut, penasaran, dan senang berkecamuk dalam hatiku, mungkin teman-teman yang lain juga merasakan hal yang sama. Aku takut apabila nanti lokasi live inku mebuat aku tidak nyaman, tapi, mau tak mau aku akan tetap diterjunkan ke lokasi live in yang sudah ditetapkan. Ternyata lokasi live inku berada di Dusun Dlimas. Dlimas ?? Jujur desa itu begitu asing bagiku. Jangankan pernah mengunjunginya, mendengar namanya pun baru sekali ini. Rasa cemas ku semakin menjadi.saja.

Ternyata yang diterjunkan di Dusun Dlimas tidak hanya aku saja, ada Murti, Vania, dan Siska juga. Setelah melalui perjalanan sekitar 20 menit, akhirnya kami sampai juga di Dusun Dlimas. Kesan pertamaku saat pertama kali turun dari bus adalah kesederhanaan masing-masing penduduk yang terpancar melalui kondisi rumah mereka. Tidak lama kemudian kami disambut oleh bapak Ketua Lingkungan, yaitu bapak Madiyono dan beliaulah yang mengantar kami ke rumah keluarga yang akan kami tempati selama empat hari tiga malam ini.

Saat aku sedang berjalan menuju rumah yang akan aku tempati, sayup-sayup kudengar suara sapi dan kambing yang saling bersahutan. Hem.. kira-kira darimana ya suara sapi dan kambing itu berasal ? Ternyata suara sapi dan kambing itu berasal dari kandang di sebelah rumah yang akan aku tempati, yang tak lain adalah suara dari sapi dan kambing milik bapak Salbini dan ibu Istikom, pemilik rumah itu. Wow ! Ternyata ada pula sapi yang diikat di pekarangan rumah. Benar-benar pemandangan yang asing sekaligus menakjubkan bagiku.

Begitu melihat aku datang, ibu Tikom dan bapak salbini langsung menyambutku dengan sangat hangat dan ramah. Bahkan ibu Tikom membantu membawakan tasku ke dalam rumha dan langsung mempersilahkan aku untuk makan siang. Aku heran, menu makan siang ini begitu sederhana, namun, terasa begitu lezat.

Empat hari tinggal di rumah bapak salbini dan ibu Tikom terasa singkat bagiku. Mereka begitu baik dan menganggapku seperti anak kandung mereka sendiri. Anak-anak mereka pun menganggap aku seperti saudara mereka. Diska, anak bungsu bapak salbini dan ibu Tikom bahkan mau untuk mengantarku ke gereja dan jalan-jalan keliling Desa Dlimas dengan sepeda motornya. Mbak Agata, anak sulung bapak Salbini dan ibu Tikom juga bersedia mengantarku mencuci baju di sungai. Pokoknya keluarga bapak Salbini membuat aku merasa nyaman.

Aku juga mendapatkan banyak pengalaman di sana, mulai dari pengalaman harus menimba air terlebih dahulu agar bisa mandi; jari yang terkena arit saat membantu ibu Tikom mengarit di ladang; mandi dalam dalam gelap; mau tak mau hanya bisa menonton siaran TVRI saja, karena tidak ada sanbungan parabola; tidur dengan lampu redup dan diiringi suara sapi dan kambing yang bersahut-sahutan sepanjang malam, dan tak ketinggalan harum bau kandang yang menyertai tidurku; berbincang sampai larut malam dengan bapak Kadus (Kepala Dusun); tinggal di rumah dengan alas tanah; membantu memasak dengan tungku; menyapu; mencuci baju; mencuci piring; memberi makan sapi dan kambing; terpeleset tanah yang licin; jalan-jalan ke PTP dan Embung yang begitu indah; ikut arisna ibu-ibu; dan yang paling berkesan adalah pengalaman ikut sembahyangan APP di rumah bapak Madiyono, susana kekeluargaan dan keserhanaan begitu terasa.
Aku merasa malu apabila melihat perjuangan bapak Salbini, ibu Tikom, dan warga Dusun Dlimas yang lain. Di tengah keterbatasan dan kekurangan, mereka tetap bekerja tanpa kenal lelah dan malu. Ibu Tikom bahkan mau untuk mengarit dua kali setiap hari untuk memberi makan sapi dan kambingnya, yang nantinya akan dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Bapak Salbini pun tanpa kenal lelah setiap hari mengurus kopi di ladangnya, bahkan ketika hujan dan petir dekalipun. Sementara aku, setiap hari aku tidak pernah mau membantu mengerjakan pekerjaan rumah, bahkan yang sederhana sekalipun, aku juga sering menuntut orangtuaku untuk membeli barang-barang yng tidak penting. Melihat perjuangan dari kedua orangtua baruku aku menjadi termotivasi untuk menjadi pribadi yang sederhana dan tegar.